Buka Dunia Dengan Membaca, Membaca, dan Membaca
Berhasil Karena Pantang Menyerah

Aku dan Aku Junior

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Pribadi koe. Silahkan baca dan manfaatkan apa yang ada didalamnya

Resources

Twitter

Follow cpsuroso on Twitter

Pages

Powered By Blogger
Mr. Cepe &. Powered by Blogger.

Tentang Aku

My photo
Saya adalah seorang guru swasta yang mempunyai cita-cita dan harapan tinggi walaupun sampai saat ini belum bisa saya wujudkan. Menghubungiku cukup phone 081326757989 okeeeyyy..

Pengikut

Saturday, June 30, 2007

HIPOKRITISME PENDIDIKAN

(Refleksi Hari Pendidikan Nasional)
Ceket P. Suroso
Praktisi Pendidikan &
Masyarakat Peduli dan Prihatin Pendidikan Indonesia (MP3I)


Meskipun sudah agak terlambat, namun kiranya masih layak untuk membincangkan dunia pendidikan,

Tujuan Pendidikan
Dalam Undang-Undang Sisdiknas disebutkan bahwa :”Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Seutuhnya berarti semuanya, komprehensif, integral baik jasmani, rokhani, lahiriah, batiniah, sosial, budaya, ideologi, dsb. Dan itu berarti sekolah sebagai wahana internalisasi nilai-nilai positif dan bukan hanya sekedar lembaga pendidikan Namun kalau kita lihat sekarang, betapa kerdilnya dan tak berartinya makna tujuan itu. Hal yang bisa dilihat dari isi dalam dunia pendidikan, baik kurikulumnya, materinya, Ujian Nasionalnya, gurunya dsb.
Dari materi, kebanyakan di semua jenjang sekolah negeri yang namanya mata pelajaran agama, budi pekerti, PPkn sebagai wakil dari mata pelajaran rohani/batiniah/moral dalam kedudukannya sangat termarjinalkan dan dinomor sekiankan oleh gurunya maupun apalagi siswa-siswanya. Bahkan dianggap sebagai mapel yang tidak penting dan sebagai pelengkap saja.
Dari ujian nasional dengan tiga mapel indomie (indonesia, matematika dan bahasa inggris) semakin menjustifikasi dikotomi mapel penting, dam tidak penting ini. Sangat kentara akhir-akhir ini bahwa untuk lulus dari ujian nasional, siswa dan orang tua harus pontang panting mencari cara agar anaknya bisa lulus walau dengan menggunakan cara apapun.Meningkatkan mutu pendidikan tetntu tidak sesederhana hanya dengan menguji tiga mata pelajaran lalu digeneralisasi dan justifikasi sebagai mutu pendidikan. Untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh, termasuk non akademis, input, proses, dan output bahkan out come pendidikan. (Kunandar : Kompas, Senin, 14 Mei 2007
Guru
Guru adalah seorang pengajar dan sekaligus pendidik. Pengajar dalam arti penyampai materi dan pendidik dalam arti memberikan bimbingan, didikan secara moral agar menjadi manusia seutuhnya, sadar akan tanggungjawabnya dalam interaksinya dengan manusia lain maupun dengan Sang Khalik.
Sebuah tanggungjawab dan tugas yang sangat besar bahkan terlalu besar bila dibandingkan dengan misalnya gajinya, kesejahteraannya, dan input pencetaknya sekalipun. Kalau orang ditanya “Kerja apa pak?”, “Guru”. Tentu persepsi dan mungkin apresiasinya akan biasa saja, lain kalau misalnya Kerja di Pertamina, Telkom, PLN, Manajer, Bank, dsb. Rasa kagum dan takjub serta hormat menyelimuti diri si penanya. Hal yang lumrah mengingat gaji dan kesejahteraannya tak sebanding dengan tugas dan mungkin julukannya sebagai “Pelita Bangsa”.
Juga bukan hal yang baru lagi, bila mahasiswa yang masuk IKIP/Universitas pencetak Guru adalah yang berprestasi biasa-biasa saja semasa SMA, bahkan mungkin kesan “Ndeso”, “pilihan kedua” begitu kental terlihat di sana. Jujur bila kita tanya pada siswa SMA yang berprestasi atau bahkan semua siswa “Apa cita-citamu?” Jawabannya pasti bukan ingin jadi guru. Ini menggambarkan betapa profesi guru tidak/belum menjadi cita-cita utama anak-anak kita.
Pun ketika sudah menjadi guru, banyak sekali tugas-tugas dan kewajiban yang diembannya dilaknakan dengan dasar “keterpaksaan”. “Kalau kenaikan kelas, semua nilai raport minimal 6!, Kalau memberi nilai jangan pelit-pelit, karena menyangkut nasib anak! Padahal kenyataannya nilai siswa tersebut memang kurang, bahkan walaupun sudah di remidiasi, diberi tugas dsb. Sementara disisi lain pribadi guru harus baik, bersih, bermoral baik, jujur, tanggungjawab dan seabrek nilai yang harus melekat pada dirinya.
Policy / Kebijakan
Keinginan Pemerintah untuk menaikkan mutu pendidikan di Indonesia dengan menaikkan standar kelulusan siswa dari tahun ke tahun (rata-rata 4,25 pada tahun 2005/2006 dan rata-rata 5.00 pada tahun 2006/2007) dibarengi dengan menurunnya kualitas soal/pertanyaan. Hal ini setidaknya dikatakan oleh salah seorang anggota BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), “Soal-soal yang diujikan tidak sulit, karena sudah kita tes di smp/sma pinggiran”. Hal ini mengindikasikan bukan mutu sebenarnya yang ditingkatkan, tetapi mutu yang semu yang hanya ada dan diperoleh melalui angka-angka dan ada kesan pemerintah menghindar bila ternyata sebagian besar siswanya tidak lulus.
Dalam kurikulum, slogan ganti menteri ganti kurikulum juga mencerminkan sikap hipokritnya pemerintah, KBK yang bahkan baru dalam tahap sosialisasi dan belum selesai dan belum sempat ditandatangani sudah diganti KTSP yang juga diplesetkan dengan “Kurikulum Tak Siap Pakai”.
Dalam hal anggaran, amanat UUD tentang harusnya 20 % anggaran APBN untuk pendidikan juga dipersulit realisasinya baik oleh pemerintah maupun DPR.

Pada akhirnya, carut marut dunia pendidikan kita mencerminkan siapa sesungguhnya kita, siapa sesungguhnya bangsa ini? Sikap hipokrit inilah yang banyak sekali tidak menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk dalam dunia pendidikan. Dan hal ini, menuntut suatu “REVOLUSI” sebagaimana China menghukum para pejabatnya yang korup di tiang gantungan. Semoga !

(Solo, 15 Juni 2007 Pukul 23.21 WIB)

Tutorial Blog

Barter Link


Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra